<<<>>>
- Tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah saja.
- Tawakkal kepada Allah termasuk kewajiban yang paling besar.
- Tawakkal yang benar haruslah tercakup:
- Penyandaran diri pada Allah
- Melakukan usaha
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”.
(H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim)
<<<>>>
Bismillah, alhamdulillaah wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, wa ba’du :
Akhir-akhir ini mungkin kita sering mendengar banyak orang mengatakan seperti ini:
- “Ngapain kita harus cuci tangan pakai sabun segala? Kalau emang ketularan corona, ya tinggal ketularan aja. Kita harus tawakal.”
- “Gak perlu pakai masker. Dari jaman dahulu yang namanya batuk, pilek, flu; ya kaya gitu. Lha kok sekarang namanya ganti jadi corona sih. Kalau memang nularin, ya biar nularin aja. Kan nggak mungkin nularin kecuali dengan izin Allah. Semuanya sudah takdir. Gak usah ribet-ribet deh jadi orang.”
- “Jangan takut dengan corona sehingga harus berdiam di rumah atau tidak boleh ke tempat keramaian. Kita harus takut hanya kepada Allah.”
- “Ya kalau gue misal kena corona, ya kan tinggal kena aja. Ntar gue dirawat, habis itu sembuh. Kan tingkat kesembuhannya sekitar 96%. Udahlah nyantai aja.”
Benarkah cara tawakkal demikian? Mari kita pelajari bersama bagaimana tawakkal yang benar, bukan tawakkal yang “ngasal”.
Tawakkal dalam bimbingan Syariat
Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan,
”Tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”. (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310).
Imam al-Munawi rahimahullah saat menerangkan makna hadits ini, beliau mengatakan, “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakkal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan apa yang diiinginkan, misalnya rizki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung.” (lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Sunan At Tirmidzi , 7/7-8).
Apa hukumnya tawakkal kepada Allah?
Syaikh Shalih Al Munajjid hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau At Tawakkul, ”Sesungguhnya tawakkal kepada Allah termasuk kewajiban yang paling besar.”
Kemudian beliau menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ”Sesungguhnya tawakkal kepada Allah termasuk kewajiban terbesar, sebagaimana memurnikan ibadah kepada Allah juga wajib. Allah memerintahkan untuk bertawakkal tidak hanya dalam satu ayat, lebih banyak dibandingkan perintah Allah untuk berwudhu dan mandi junub, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk bertawakkal kepada selain-Nya.” (Majmu’ Al Fatawa (7/16)).
Bahkan tawakkal merupakan syarat Iman, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al Maidah : 23).
Sehingga jika tiada tawakkal maka tiada pula iman. Dan tawakkal juga merupakan salah satu bagian dari tauhid uluhiyah sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Q.S. Al Fatihah : 5).
Bolehkah Tawakal kepada Selain Allah?
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, ”Tawakal kepada selain Allah memiliki beberapa bentuk :
- Tawakal dalam urusan-urusan yang tidak ada yang mampu kecuali Allah, seperti tawakal kepada orang-orang mati, orang-orang yang tidak hadir, sesembahan selain Allah dan lainnya, dalam mewujudkan apa yang diharapkan, seperti kemenangan, penjagaan, rizki atau syafa’at. Ini adalah syirik besar.
- Tawakal dalam sebab-sebab lahir, seperti orang yang bersandar kepada raja atau orang yang mampu dalam apa yang dia mampu, berupa memberi atau menolak gangguan dan yang sepertinya. Ini syirik kecil, karena ia bersandar kepada seseorang.
- Tawakal kepada seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang dia mampu lakukan, seperti jual beli. Ini boleh, tetapi dia tidak boleh bersandar kepadanya dalam keberhasilan usahanya, sebaliknya dia harus bertawakal kepada Allah dalam memudahkan urusan yang dia usahakan atau dia wakilkan kepada orang lain…” (Al Irsyad Ilaa Shahihil I’tiqad, 1/64-65).
Namun benarkah Tawakkal tanpa diiringi Usaha?
Sebagian orang seringkali salah kaprah dalam memahami tawakkal sehingga tawakkal yang dia lakukan menjadi “ngasal” tidak di atas ilmu dan bimbingan syariat. Dia mengira tawakkal hanyalah sikap pasrah, tanpa ada usaha mengambil sebab dan kerja sama sekali. Ini sangat keliru. Tawakkal yang benar haruslah tercakup dua hal yaitu : [1] penyandaran diri pada Allah dan [2] melakukan usaha.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517).
Di antara bukti bahwa tawakkal yang benar haruslah disertai dengan melakukan usaha adalah keadaan burung yang dijelaskan dalam hadits yang telah lewat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa burung tersebut bisa pulang dalam keadaan mendapatkan rizki dikarenakan ia juga melakukan usaha keluar di pagi harinya, disertai hatinya bersandar pada Allah.
Allah Ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya (yang artinya),
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (Q.S. Al Anfaal: 60).
Juga firman-Nya (yang artinya),
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.” (Q.S. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Tapi jangan hanya bersandar pada sebab semata!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Hanya semata bersandar kepada sebab (dengan keyakinan bahwa suatu sebab dapat menghasilkan suatu akibat dengan sendirinya tanpa izin Allah) adalah syirik dalam tauhid (bisa merusak tauhid). Namun, meniadakan sebab (untuk mencapai suatu akibat) adalah tindakan yang menunjukkan kurangnya akal sehat. Adapun tidak mau melakukan sebab (usaha) yang diperintahkan adalah celaan terhadap syariat (karena syariat justru memerintahkannya).
Oleh karena itu, seorang hamba wajib menjadikan hatinya hanya bersandar kepada Allah, bukan semata-mata bergantung pada sebab (usaha). Allahlah yang memudahkan hamba untuk menempuh suatu sebab (usaha) dalam rangka meraih kebaikan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Al Fatawa, 8/528).
Bertawakal kepada Allah akan menjadikan seseorang kuat!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Memohon pertolongan kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, adalah perkara-perkara yang akan menguatkan seorang hamba dan memudahkan segala urusannya. Oleh karena itu sebagian (ulama) salaf mengatakan: Siapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka hendaknya dia bertawakal kepada Allah.” (Majmu’ Al fatawa, 10/32).
Ingat, tawakkal tidak hanya pasrah tanpa ada usaha, namun tawakkal yang benar adalah seseorang berusaha semaksimal kemampuannya kemudian memasrahkan dan menyandarkan hasilnya kepada Allah Ta’ala.
Wa shallallahu ‘alaa nabiyyina Muhammadin wa ’alaa aalihi wa shahbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin.
Penulis : Hasim Ikhwanudin, S.Ars. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi)
Murajaah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.